Ticker

6/recent/ticker-posts

Pada 11-13 Desember 1993, Amien Rais memimpin sidang tanwir Muhammadiyah di Surabaya dan membahas soal suksesi kepemimpinan nasional. Tanwi...

Pada 11-13 Desember 1993, Amien Rais memimpin sidang tanwir Muhammadiyah di Surabaya dan membahas soal suksesi kepemimpinan nasional. Tanwir merupakan lembaga permusyawaratan tertinggi setelah muktamar.

Amien Rais mengingatkan, bahwa hampir setengah abad merdeka tetapi bangsa Indonesia belum pernah punya pengalaman bagaimana cara memilih presiden. Bung Karno dan Pak Harto menjadi presiden karena proses sejarah.

Menurutnya, Muhammadiyah yang lahir 33 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia, tak ada salahnya untuk urun rembug membahas kriteria pemimpin, yang diperkirakan akan terjadi pada 1998 ketika angkatan 45 sudah larut senja dan paripurna dari pengabdiannya.

Sidang tanwir yang membahas suksesi kepemimpinan nasional tersebut berhasil merumuskan enam kriteria calon pemimpin. Yakni :

1. Harus sudah teruji kesetiaannya pada Pancasila dan UUD 1945.

2. Punya integritas pribadi, tidak bermental korup dan dapat menjadi panutan.

3. Punya komitmen kerakyatan dalam arti selalu mengunggulkan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan, partai, kelompok, keluarga, dan sebagainya.

4. Punya visi masa depan yang ditandai dengan perkembangan iptek.

5. Memperoleh akseptabilitas yang setinggi mungkin dalam masyarakat Indonesia yang serba majemuk.

6. punya jangkauan (reach out) international berhubung Indonesia tidak mungkin ber-autarki tanpa kerjasama dengan negara lain.

Siapapun itu, entah berlatar belakang ABRI, Golkar, birokrasi, parpol, kalangan kampus, dunia wiraswasta, dan lain sebagainya tak menjadi masalah selama memiliki enam kriteria tersebut, dan terpilih dalam konsensus nasional.

Hanya saja, hasil yang sudah disepakati sidang komisi umum tersebut mendapat keberatan dari Lukman Harun, yang juga salah satu pimpinan Muhammadiyah. Lalu diikuti keberatan oleh tujuh pimpinan wilayah.

Menurut pihak yang menolak, pembahasan tersebut terlalu dini, sehingga ada kesan mendesak penguasa. Selain itu, soal suksesi merupakan tugas MPR kala itu, sehingga Muhammadiyah tidak perlu ikut bicara politik.

Karena penolakan tersebut, demi kemaslahatan bersama ala Muhammadiyah, maka hasil sidang soal suksesi kepemimpinan nasional disimpan dulu dan direncanakan dibahas pada Muktamar 1995. (Red.s)

Sumber bacaan :
Buku "Motalitas Politik Muhammadiyah" (1995) karya Amien Rais. Hal 47-50

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz Isu agama itu memang mengganggu, setidaknya secara politik. Menguras emosi dan energi. Padahal tidak begitu sub...

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz

Isu agama itu memang mengganggu, setidaknya secara politik. Menguras emosi dan energi. Padahal tidak begitu substansial.

Yang penting itu isu ekonomi, dan hukum yang tidak adil. Dua isu ini tak lebih mengganggu dari isu agama, namun sangat substansial. Jika tidak ditanggapi, dampaknya bisa bermacam, sebab berkaitan dengan hidup mati masyarakat.

Isu agama? Andai kalah dalam isu ini, biasanya kalah dalam kontestasi politik. Penting juga, soal hasrat dan kekuasaan.

Apakah Jokowi tergoda isu agama?

Pilpres 2014 silam, rasanya Jokowi masih santai-santai saja, bahkan foto dalam kertas suaranya tidak menggunakan peci. Hanya mengenakan baju kotak-kotak.

Padahal isu agama menyerang dari berbagai sisi. Mulai dari agama orang tuanya, gelar "H" yang bukan Haji melainkan Handoko, munculnya tabloid obor rakyat, dan masih banyak lagi.

Ya, meskipun berpasangan dengan Jusuf Kalla, yang adalah ketua Dewan Masjid Indonesia. Tetapi pertimbangannya lebih karena elektabilitas. Elektabilitas Pak JK antara nomor 3 dan 4.

Isu agama yang menerpa berguguran satu per satu. Jokowi bisa shalat, bahkan berani menjadi Imam shalat, termasuk shalat magrib, yang mana bacaannya dikeraskan. Bisa. Berarti ia seorang muslim. Terlepas apakah makhroj atau nadanya kurang tepat.

Soal tuduhan gelar H, akhirnya terbukti bahwa itu gelar Haji. Naik haji pada tahun 2003. Dan sederet tuduhan lain, yang akhirnya rontok.

Lalu ada apa dengan pilpres 2019? Apa isu agama menjadi masalah genting?

Sepertinya Jokowi masih santai saja, yang ketar ketir mungkin tokoh-tokoh partai di balik pengusungnya.

Jokowi mungkin memilih Mahfud MD, yang berlatar hukum. Atau memilih tokoh lain yang punya background ekonomi. Itu lebih penting, untuk kerja, kerja, kerja.

Bukan politik, politik, politik, la nanti siapa yang kerja?

Blitar, 11 Agustus 2018

Pemilihan Presiden (Pilpres) Republik Indonesia pertama kali diadakan tahun 2004. Jika sebelumnya Presiden dipilih berdasar perolehan suara...

Pemilihan Presiden (Pilpres) Republik Indonesia pertama kali diadakan tahun 2004. Jika sebelumnya Presiden dipilih berdasar perolehan suara Partai politik atau voting di Parlemen, 2004 muncul aturan baru.

Saat itu Megawati Soekarnoputri, yang mejabat sebagai Presiden, maju sebagai Petahana, melawan lima pasangan lainnya. Megawati menggandeng Ketua PBNU, KH. Hasyim Muzadi.

Pasangan yang maju kala itu adalah Wiranto-Solahudin Wahid yang diusung partai Golkar. Megawati-Hasyim Muzadi yang diusung PDIP, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo yang diusung PAN, SBY-JK yang diusung Partai Demokrat, PBB, dan PKPI, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar yang diusung PPP.

Persyaratan mengusung pasangan Capres dan Cawapres waktu itu adalah, parpol memiliki 5% suara nasional, atau 3% di kursi DPR. Sehingga beberapa partai bisa mengusung calonnya sendiri.

Pada putaran pertama, suara NU disebut pecah dalam dua kubu, karena Adik dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yaitu Solahudin Wahid maju sebagai Cawapres Wiranto yang diusung Golkar.

Tetapi diluar dugaan, justru pasangan SBY-JK menang cukup telak mengungguli Megawati-Hasyim Muzadi. SBY-JK memperoleh suara 33,57% sementara Mega-Hasyim 26,61%.

Karena syarat kemenangan harus melebihi 50%, atau setidaknya 20% di tiap provinsi, maka digelarlah putaran kedua.

Terjadi lobi dan komunikasi politik, selain kocok ulang partai pendukung, juga banyak yang bertanya, apakah suara NU akan bulat mendukung Mega-Hasyim?

Sebagai petahana, Megawati jelas sangat diunggulkan, apalagi berpasangan dengan Ketua PBNU, yang notabene sebagai Ormas dengan pengikut terbesar di Indonesia. Banyak yang memprediksi Mega-Hasyim akan menang mudah.

Namun hasil pemilu sungguh mengejutkan. Justru SBY-JK menang sangat telak sebesar 60,62%. Sementara Mega-Hasyim hanya memperoleh prosentase suara 39,38%.

Pengamat politik menilai preferensi pemilih tidak seragam, sekalipun yang maju adalah tokoh sentral organisasi. Banyak yang berharap kala itu KH. Hasyim Muzadi lebih mengurus Umat daripada terlibat dalam politik.

Pola yang sama kini juga dijalankan PDIP, dengan memasangkan Jokowi dengan Rois Am PBNU, KH. Ma'ruf Amin. Akankah sejarah terulang?

Nama Mahfud MD memang santer diberitakan sebagai cawapres Jokowi, terutama banyaknya kode-kode terkait, seperti inisial "M", atau...

Nama Mahfud MD memang santer diberitakan sebagai cawapres Jokowi, terutama banyaknya kode-kode terkait, seperti inisial "M", atau kode yang berupa ancaman PBNU. Namun duet Jokowi-Mahfud MD tetap layak dipertimbangkan.

Padahal yang memiliki inisial M ada beberapa. Selain Mahfud MD, ada Jenderal (Purn) Moeldoko. Juga KH. Ma'ruf Amin, Muhaimin Iskandar, sampai Mulyani atau Sri Mulyani. Namun yang muncul kemudian adalah pasangan Jokowi-Mahfud MD.

Nama Mahfud MD sangat pas karena beberapa hal :

Pertama, bukan tokoh partai. Mahfud MD lebih mewakili non partai atau kalangan profesional, sehingga tidak terkesan mengkhususkan parpol pengusung tertentu. Sehingga duet __Jokowi-Mahfud MD__ menjadi alternatif yang tepat.

Kedua, latar belakang hukum. Salah satu isu paling gencar dalam kepemimpinan Jokowi adalah lemahnya penegakan hukum. Sosok Mahfud MD mewakili hal ini karena ia seorang praktisi hukum, dan pernah menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi. Duet Jokowi-Mahfud MD nanti layaknya duet Saudagar dan Pakar hukum.

Ketiga, berlatar belakang religius. Selain ketua KAHMI, Mahfud MD juga dekat dengan Muhammadiyah dan NU, meski PBNU menyatakan jika Mahfud MD bukan kader NU. Barangkali secara administratif.

Tiga hal tersebut menjadi alasan yang cukup tepat kenapa sosok Mahfud MD dipilih sebagai Cawapres, dan pasangan Jokowi-Mahfud MD layak diapresiasi.

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz Menulis soal politik memang sungguh menggoda. Padahal saya sudah siapkan dua tulisan tentang lingkungan, gegara...

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz

Menulis soal politik memang sungguh menggoda. Padahal saya sudah siapkan dua tulisan tentang lingkungan, gegara ada statement TGB yang viral, tergoda lagi untuk nulis soal isu politik. Isu lingkungan ditunda dulu.

Bagi saya, TGB dan Gatot Nurmantyo adalah kunci elektoral Pilpres 2019 nanti. Sebab Jusuf Kalla sudah tidak bisa maju sebagai Cawapres, dan Mahfud MD rasa-rasanya juga tidak akan bersedia dicalonkan, mendampingi siapapun.

Konon, dari isu yang beredar, TGB sangat dilirik oleh Prabowo. Sebab betapa mantapnya, jika Prabowo yang berlatar militer, berpasangan dengan TGB yang berlatar sipil dan kepala daerah.

Hanya tidak mudah bagi Prabowo, jika harus melewati PAN dan PKS. Apalagi PAN punya catatan positif dalam pilkada 2018 ini.

Karena selintas ada nama lain diluar koalisi PAN dan PKS, konon karena itulah Pak Amien Rais sedikit geram, dan menyatakan siap Nyapres lagi. Ada deklarasi yang mendukung kembali Amien Rais maju sebagai calon Presiden.

Padahal mana mungkin? Sebab PAN sedang getol-getolnya memprofilkan Dzulkifli Hasan. Karena itu ada yang berpendapat jika majunya Pak Amien Rais hanya gertakan untuk Prabowo, yang mulai melirik orang diluar koalisi besar.

Tetapi entah itu benar atau tidak, namanya juga isu politik yang serba simpang siur.

Lalu bagaimana dengan statement TGB soal Jokowi dua periode?

Sebenarnya fair saja, kata TGB ketika diwawancara Alfito di CNN Indonesia. TGB sendiri berujar, untuk lingkup NTB yang 5,1 Juta penduduk, ia butuh dua periode. Maka dalam konteks yang sama, Pemerintah pusat juga demikian. Fair saja.

Tidak hanya TGB yang pernah berujar demikian, Gatot Nurmantyo juga, bahkan ketika masih mejabat panglima TNI. Melihat pembangunan infrastruktur saat ini, maka pentingnya kepemimpinan dua periode. Begitu kata Gatot dulu.

Apalagi, dua periode adalah batas maksimal memimpin di Indonesia. Tidak seperti Malaysia, yang mana Mahatir bisa terpilih lagi jadi perdana menteri, tidak ada batasan.

Jadi statement TGB, dan juga Gatot dahulu, bukan bentuk dukungan. Hanya bicara sebaiknya. Jangan baper, juga jangan senang terlebih dahulu.

Jokowi pun juga cukup kesulitan jika harus menggandeng TGB. Harus melewati partai-partai pendukung, terutama PDIP dan Golkar. Ada Airlangga Hartanto, yang jadi kandidat kuat cawapres.

Jangan pula mereduksi figur TGB hanya karena statement semacam itu. TGB, sosok yang komplit ; agamawan disatu sisi, alumnus Al Azhar Mesir, dan mau terjun ke politik, mengurus rakyat dan daerahnya.

Anda hitung berapa banyak Ulama yang mau terjun langsung seperti TGB. Lebih banyak yang menikmati berceramah dari mimbar ke mimbar, punya jamaah dan pengikut, juga dibayar mahal.

Yang mau terjun langsung, mengelola birokrasi, menyelesaikan persoalan publik yang lebih kompleks, begitu sedikit jumlahnya.

Sebab bagaimanapun, TGB adalah salah satu kunci elektoral. Kemana beliau akan bersikap, maka "angin politik" juga akan ikut terpengaruh.

Dan kita perlu memahami juga, ada satu kesamaan antara TGB dan Jokowi, soal kebijakan infrastruktur. Ibarat gayung bersambut. NTB yang dulu tak begitu dikenal, kini begitu populer. Terutama pariwisatanya, bahkan menyaingi Bali. Salah satu penyokongnya adalah infrastruktur.

Hotel terbaik di dunia juga ada di NTB. Mungkin yang lainnya akan menyusul. TGB adalah tokoh yang usianya kini masih cukup muda, dan Insyallah masih ada 10 atau 15 tahun berikutnya untuk Tuan Guru ini memimpin Indonesia. []

Blitar, 7 Juli 2018
Lingkar Studi Sejarah Politik Indonesia (Lakspi)

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz Bagaimana agar negara maju? Jawaban Dahlan Iskan sungguh bagus : anda tidak perlu berpikir bagaimana agar negar...

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz

Bagaimana agar negara maju? Jawaban Dahlan Iskan sungguh bagus : anda tidak perlu berpikir bagaimana agar negara maju, berpikirlah bagaimana hidup anda bisa maju, maka negara akan ikut maju.

Kalau tidak salah itu pertanyaan yang diajukan mahasiswa, entah dalam forum apa saya lupa. Yang saya ingat itu petuah Dahlan Iskan, mantan menteri BUMN yang juga dikenal sebagai bos media.

Mahasiswa memang terkenal kritis, kuat bacaan dan mengantongi data. Tetapi kadang lupa mengurus dirinya sendiri.

Contohnya, mengkritik habis negara yang tidak mandiri secara ekonomi, banyak hutang dan investor asing. Tetapi dia sendiri masih bergantung pada uang bulanan dari orang tua.

Tidak apa-apa, sebab lagi idealis-idealisnya, maka harus kritis, perkuat konsep, baru masuk realitas.

Bagaimana agar negara maju? Atau setiap daerah maju? Maka jangan keliru milih pemimpin, jangan golput waktu pemilu. Pilih pemimpin yang sesuai dan bisa mengawal aspirasi masyarakat.

Tetapi bagaimana jika analoginya begini : jangan makan yang manis-manis, agar gula darah tidak naik. Tetapi yang tersaji di atas meja semua serba manis. Jadi lebih baik tidak makan.

Tetapi dalam pemilu, milih tidak milih tetap ada yang menang. Meskipun yang maju hanya satu pasangan, pesaingnya kertas kosong. Sementara yang berkompetisi, calon yang ada kurang meyakinkan, itu-itu saja, kurang greget.

Makan tidak makan, kena diabet juga. Hehe

Tetapi kalau mengingat perjuangan penyelenggara pemilu, mulai dari KPU, PPK, PPS, KPPS dan organ lain yang berhubungan, juga mempertimbangkan anggaran negara yang digelontorkan untuk hajatan demokrasi ini, rasanya kok sayang jika tidak menggunakan hak suara.

Memang semua perlu berbenah, khususnya diri sendiri. Sebab yang maju dalam pemilu saat ini, adalah cermin dari masyarakat.

Masyarakat yang pasif, permisif, kurang mempunyai tuntutan, atau hanya suka nyinyir. Apalagi yang bisa disumpal, atau disogok dengan uang 50.000 perak, untuk satu suara. Mudah ditundukkan.

Bayangkan jika publik kita sangat kritis. Minimal diri kita sendiri, yang perlu mengkaji latar belakang, rekam jejak, program yang ditawarkan, juga "beban politik" yang sangat mungkin menghambatnya ketika berkuasa nanti.

Jadi sehebat apapun pemimpin, kalau kiri kanannya banyak pembisik, banyak beban, maka tidak bisa lari kencang. Mobil ferari akan kalah dengan Avanza, kalau sambil jalan sambil nderek truk tronton. Malah tak beringsut.

Yang akan maju pun akan berfikir ulang, sebab rakyatnya sudah "sulit ditaklukkan". Jika pada akhirnya maju tanpa konsep yang matang, tanpa penguasaan, tanpa punya political will yang baik. Habislah sudah.

Apakah selama ini yang kurang? Sepertinya penyelenggara pemilu sudah kerja sangat ekstra. Tinggal partai politik, calon yang bertanding, tim sukses, atau yang berkaitan, yang perlu meninggalkan "kebiasaan lama".

Juga kita masyarakat, yang apatis, yang berfikir lebih baik golput, yang kadang kehilangan harapan, yang masih mau ditawar murah.

Namun bagaimanapun, memilih adalah hak. Tidak memilih juga adalah hak. Tetapi memilih atau tidak memilih tetap ada yang menang. Memilih atau tidak memilih, jika banyak kebijakan keliru diambil pemimpin kelak, kita juga yang merasakannya.

Seperti misalnya, ya itulah ...

Blitar, 27 Juni 2018
Lingkar Studi Sejarah Politik Indonesia (Lakspi)

Oleh Ahmad Fahrizal Aziz Apa makna dibalik "sumbangan dana" yang akhir-akhir ini dilemparkan Capres Gerindra, Prabowo Subianto? ...

Oleh Ahmad Fahrizal Aziz

Apa makna dibalik "sumbangan dana" yang akhir-akhir ini dilemparkan Capres Gerindra, Prabowo Subianto? Tentu bermacam-macam.

Bisa dalam arti sebenarnya, bahwa Prabowo memang sudah habis-habisan untuk nyapres, sejak 2004, dimulai dari konvensi capres Golkar. Lalu rela menjadi cawapres mendampingi Megawati, dan pada puncak elektabilitasnya, ia berhasil maju sebagai capres pada 2014.

Kita tahu, ongkos politik tidak murah. Meskipun Prabowo orang kaya, saat diaudit KPK pada 2014 lalu, kekayaannya diatas 1 Triliun atau 1.000 Milliar.

Besar sekali. Kekayaan Jokowi bahkan tak ada 5%-nya. Bahkan Prabowo lebih kaya dari Megawati dan Jusuf Kalla, apalagi SBY. Entah kita mau percaya atau tidak, kekayaan SBY dalam LHKPN hanya dibawah 10 Milliar.

Akan tetapi statemen Prabowo tersebut juga bisa bermakna lain, sebagai "tes pasar", sebagai upaya untuk memastikan barisan pendukungnya yang loyal. Juga untuk membuktikan hasil survei, yang selalu menempatkannya diurutan kedua, sejak/dalam lima tahun terakhir.

Juga bisa jadi angin positif, yang menyadarkan kita betapa mahalnya ongkos politik, biaya kampanye, yang berdampak pada "dipermainkannya" anggaran negara, untuk proyek atau hal-hal lain, sampai pada perilaku korupsi.

Juga menyadarkan kita betapa ada "aktor kapital" yang selalu bermain, menawarkan jasa-nya, tentu tidak dengan cuma-cuma.

Sebab uang tidak ber-tuhan, juga tidak ber-ideologi. Jasanya bisa diberikan kepada semua pasangan sekaligus, ibarat main judi. Agar tidak rugi, maka megang keduanya saja. Pasti salah satunya yang menang.

Sebab mahalnya ongkos politik, juga tak seberapa dengan potensi anggaran negara yang bisa "dimainkan". Katakanlah bertaruh 1 Triliun, dibagi dua. Nanti diupayakan mengelola proyek yang jumlahnya 10 kali lipat.

Capres tentu tidak bisa mengontrol satu per satu darimana anggaran berasal. Tahu-tahu fotonya ada di baliho, kaos-kaos, media massa, atau amplop-amplop.

Setelah punya kuasa, lalu ada bisikan-bisikan, bahwa perusahaan A milik si B dulu pernah bantu kampanye sekian miliar. Bisikan-bisikan liar yang menyandra suasana psikologi siapapun pemimpinnya.

Itulah kenapa masyarakat perlu peka, jangan apolitik. Tokoh-tokoh kompeten harus kita dukung, minimal kita perbincangkan, kita apresiasi. Kita kaji latar belakang, kebijakan, serta sikap-sikapnya.

Perihal nanti apakah wataknya berubah ketika memperoleh kekuasaan, itu soal lain, itu urusan pribadinya dengan Tuhan.

***
Atau Prabowo ingin namanya tetap beredar di permukaan, makanya harus terus melempar isu. Harus terus ada panggung, biar tak tenggelam.

Kita tidak tahu, dan biarlah itu berlalu sebagai realitas perpolitikan kita.

Hanya, kegelisahan kita soal ongkos politik memang belum usai. Banyak tokoh kompeten, yang kita harap jadi pemimpin, yang kita percaya untuk mengelola bumi pertiwi, tidak bisa maju karena salah satunya terkendala biaya, meskipun faktor lain juga tidak kalah penting : political will partai politik.

KPU selama ini sudah bekerja sangat maksimal. Sekarang bahkan aturan lebih diperketat, untuk pemasangan alat peraga. KPU sendiri juga akan menyiapkan alat peraga bagi calon yang bertanding. Sosialisasi juga sudah disiapkan, baik di media cetak dan elektronik, atau sosialisasi ke masyarakat.

Artinya, tak perlu lagi risau soal ongkos politik. Sudah diongkosi negara. Tetapi tetap tidak cukup, tetap ada ongkos-ongkos lain yang dikeluarkan. Entah untuk apa. Sampai tokoh sekaliber Prabowo Subianto, mantan menantu keluarga cendana itu, mengeluhkannya. []

Blitar, 25 Juni 2018

By Ahmad Fahrizal Aziz Nuansa Pilgub Jatim 2018 ini terasa beda dengan di Jabar dan Jateng. Terasa tenang, adem ayem, dan nyaris tanpa gej...

By Ahmad Fahrizal Aziz

Nuansa Pilgub Jatim 2018 ini terasa beda dengan di Jabar dan Jateng. Terasa tenang, adem ayem, dan nyaris tanpa gejolak dan dinamika. Kurang menggairahkan.

Beda dengan di Jawa Tengah, apalagi Jawa Barat. Di Jawa Barat ada semacam "panggung khusus" antara Ridwan Kamil dan Dedi Mizwar. Seringkali, keduanya terlibat head to head. Seolah, Pilgub Jabar adalah panggung yang diperuntukkan keduanya.

Dedy Mizwar sering menyebut Ridwan Kamil kurang ilmu, kurang data, dan juga menyerang kebijakan-kebijakan Ridwan Kamil selama menjadi Walikota Bandung.

Namun Ridwan Kamil tak mau kalah, ada saja caranya, yang kadang membuat Dedy Mizwar kerepotan. Dalam survey, keduanya pun bersaing ketat. Besar kemungkinan terjadi putaran kedua, antara keduanya.

Sementara calon lain, seolah pemeran tambahan. Bahkan pasangan yang didukung Gerindra-PKS, yang menjadikan 2019 ganti Presiden sebagai kampanye, juga tidak begitu mendongkrak elektabilitas. Kurang laku. Begitupun dengan calon yang diusung PDIP.

Pilgub Jabar begitu dinamis. Figuritas lebih kuat, ketimbang kepartaian. Tidak begitu halnya di Jateng dan Jatim.

Di Jateng, kubu Pemerintah bertanding melawan kubu Oposisi. Terasa tensinya. Sudirman Said yang sukses jadi tim transisi Anies-Sandi, maju dalam perhelatan. Berharap nasib baik juga ia dapatkan. Meski Jateng terkenal dengan sebutan "kandang banteng".

Di Jatim, yang adem ayem ini, format koalisi kurang greget. Gerindra dan PKS, yang jadi lawan sengit PDIP, nampak tak punya taring. Sehingga lebih memilih merapat ke calon yang diusung PKB dan PDIP.

Meski tetap ada yang mengkubu-kan. Mungkin agar jadi seru dan menarik, namun tetap saja adem ayem. Katanya, Pilgub Jatim adalah perang antara kubu SBY dan Mega. Demokrat sangat kuat di Jatim, terutama dalam 10 tahun terakhir. Meski DPRD-nya didominasi PKB dan PDIP.

Atau karena antara Bu Khofifah dan Gus Ipul sama-sama sungkan untuk saling menyerang. Yang satu Nyai, yang satu Gus. Sama-sama tokoh teras depan NU. Sama-sama punya kedekatan dengan Gus Dur.

Debat sengit justru terjadi antara sang calon wakil, Emil Dardak dan Puti Guntur. Sayangnya tetap kurang greget. Sebagai pendatang baru, Puti tak banyak menyita perhatian publik. Sementara Emil Dardak nampak bergelora. Selain muda, tampan, dan beristri Artis Ibukota.

Tetapi hasil survey juga adem ayem. Keterpautan keduanya kurang dari 1%. Padahal margin eror bisa sampai 3%, suara mengambang juga bisa sampai 11%.

Survey teranyar dari SMRC, Khofifah-Emil unggul sekitar 8%. Tetapi suara mengambang masih sekitar 10%. Masih unpredictable.

Sangat sulit memperkirakan siapa yang akan menang dalam Pilgub Jatim 2018 ini. Suara NU pasti terbelah jadi dua. Suara nasionalis dan abangan juga pasti terbelah. Sebab ada Sukarwo di kubu Khofifah-Emil, yang notabene tokoh GMNI.

Gus Ipul masih mungkin mendapat suara dari KAHMI atau HMI, akan tetapi PAN mendukung Khofifah, suara warga Muhammadiyah juga pasti terbelah.

Anak-anak muda milenial? Kemungkinan besar ke Emil Dardak, meski ada kemungkinan ke Puti Guntur. Lalu kelompok mana yang akan menjadi penentu kemenangan?

Sulit ditebak. Kita hanya bisa menanti, sambil melihat keseruan apa yang terjadi. []

Blitar, 20 Juni 2018

Alhamdulilah bisa ikut merayakan lebaran 2018, atau 1439 H. Tanpa berita kemacetan yang berarti, meski tetap saja ada. Macet akan sulit dih...

Alhamdulilah bisa ikut merayakan lebaran 2018, atau 1439 H. Tanpa berita kemacetan yang berarti, meski tetap saja ada. Macet akan sulit dihindari, di tengah banyaknya pengguna kendaraan pribadi.

Juga tanpa berita kenaikan harga pangan yang ekstrem. Meski pada lebaran begini, konsumsi masyarakat naik. Pesta makan, juga rumah-rumah yang menyuguhkan kue-kue, yang bahan bakunya bermacam-macam, tepung dan gula terutama.

Akan tetapi nilai tukar rupiah terhadap dollar masih sulit beringsut dari angka yang mengkhawatirkan. Rasanya sulit untuk bergeser, apalagi ketika Donald Trump sedang menerapkan kebijakan konservatifnya, mirip ideologi partainya, yang dikenal dengan America first

Uang yang ada, termasuk investasi didahulukan untuk kepentingan Amerika. Nampak pada kampanyenya dahulu, yang seolah anti imigran, juga anti muslim. Akan dibangun tembok di perbatasan, terutama dengan Mexico.

Belakangan cara kampanye Trump diikuti oleh kelompok tertentu di Indonesia, yang terus mendengungkan bahayanya pekerja asing, hutang negara, juga pribumi harus berdaulat.

Semua itu memang penting, dan harus diupayakan. Tetapi beda lagi jika dipolitisir demi dapat suara rakyat. Amerika adalah negara dengan hutang terbesar, namun lembaga penghutangnya, bisa mereka kendalikan. Itulah uniknya.

***
Sampai pertengahan Juni, dari berbagai lembaga survey kredibel, elektabilitas Jokowi masih diatas 50%. Menyusul Prabowo, dan calon-calon lain dibawah 10%. Sebenarnya ada banyak kandidat.

Perlu kerja lebih keras, bahkan kalau perlu dengan cara yang tak biasa, untuk menurunkan elektabilitas Jokowi. Perlu menggali lagi hal-hal yang sekiranya bisa menjatuhkan, entah apa, biarlah oposisi "bekerja".

Namun pemerintah, juga tidak tinggal diam. Melalui berbagai instrument kebijakan dan kuasanya, seperti bagi-bagi sertifikat tanah. Diam, tapi menghanyutkan.

Padahal waktu terus bergulir, bulan depan sampai maksimal Agustus, kandidat pilpres 2019 mungkin sudah harus diumumkan. Hanya Jokowi yang secara kalkulasi bisa maju. Mayoritas partai berkumpul mendukungnya.

Prabowo sepertinya masih bimbang. Apakah berduet dengan PAN lagi, atau PKS. Keduanya adalah pilihan sulit. Dari suara parlemen, PAN unggul. Tetapi dari kesetian, PKS paling bisa diharapkan.

PKS pun terus "bekerja" dengan tagar 2019 ganti presiden. Banyak yang ikut gerakan ini, tetapi mungkin tak banyak tahu kalau penggagasnya adalah kader PKS, Mardani Ali Sera. Mardani adalah satu dari sembilan capres/cawapres yang ditawarkan PKS.

Prabowo sepertinya sedang menunggu dan melihat, mana sosok-sosok yang bekerja paling keras, untuk kemudian dipilih sebagai cawapres. Jika melihat sejauh ini, Mardani adalah sosok yang paling sukses menggempur presiden. Sayangnya, Mardani tidak begitu menjual untuk dijadikan cawapres.

Trauma dengan pilpres 2014 silam, yang mana Prabowo bisa menang diatas kertas, apalagi mayoritas parpol mendukungnya. Hanya saja pasangannya, Hatta Rasjasa, elektabilitasnya sangat rendah. Andai kala itu yang jadi pasangannya adalah Mahfud MD, mungkin beda lagi.

Prabowo sudah bertarung sejak 2004. Sudah habis-habisan. Dana sudah banyak yang terkuras. Maka wajar jika penuh pertimbangan. Ia tentu tidak mau mengukir sejarah sebagai capres yang selalu gagal.

Karenanya sempat muncul nama-nama non parpol, seperti Gatot Nurmantyo dan TGB yang lagi moncer-moncernya. Mendengar itu, parpol koalisi, terutama PKS dan mungkin juga PAN, agak gusar.

Pak Amien Rais tiba-tiba menyatakan diri siap Nyapres lagi. Seperti petir di siang bolong, padahal PAN sedang gencar-gencarnya memprofilkan Dzulkifli Hasan.

Belum lagi ketika Habib Rizieq Shihab (HRS) juga menyatakan siap nyapres. Makin banyak alternatif, makin menunjukkan tidak solidnya koalisi Umat atau apalah namanya.

Nampak bahwa kekuasaan, secara alamiah sangat menggiurkan untuk diperebutkan.

Karenanya Jokowi nampak santai, sekalipun ia diserang dari berbagai arah. Serangan bertubi-tubi. Serangan untuk kebijakan-kebijakan yang diambil, sampai serangan personal.

Jokowi masih di atas angin, lawan politiknya sedang dirundung kebimbangan yang akut.

Tetapi sebentar dulu, beberapa tokoh kembali mengajukan judificial review UU Pemilu, yang mana syarat nyapres adalah 0%. Jika MK meloloskan, maka semua partai bisa mengajukan capres dan cawapresnya sendiri, akan terbuka peluang bagi banyak tokoh.

Ini juga bisa berdampak pada parpol yang mendukung Jokowi, yang mungkin juga akan sedikit goyah. Tergoda untuk mengusung sendiri, meski dengan peluang menang yang kecil.

Betapapun hebatnya tokoh, butuh beberapa bulan, atau beberapa tahun, untuk menaikkan elektabilitas. Inilah kenapa petahana selalu kuat, apalagi Jokowi yang selalu show up di media : blusukan, aktif di sosmed, terbuka pada wartawan, dan tentunya, memiliki banyak penghujat. []

Blitar, 17 Juni 2018
Ahmad Fahrizal Aziz

Siapa kira-kira yang layak menjadi penantang Jokowi pada pilpres 2019? Mungkin banyak yang akan menjawab Prabowo Subianto, apalagi jika mer...

Siapa kira-kira yang layak menjadi penantang Jokowi pada pilpres 2019? Mungkin banyak yang akan menjawab Prabowo Subianto, apalagi jika merujuk survey. Prabowo tokoh yang paling elektable setelah Jokowi.

Tapi jika melihat track record, sebenarnya ada banyak penantang lain, yang kontestable, yang berlatar sipil dan punya rekam jejak sebagai kepala daerah. Misalkan, seperti TGB Zainul Majdi, Sukarwo, dan Ahmad Heryawan.

Atau, figur-figur parpol yang pernah berada di eksekutif seperti Dzulkifli Hasan. Mungkin juga (Purn) TNI, Jenderal Bintang 4 seperti Moeldoko dan Gatot Nurmantyo.

Tetapi hasil survey merujuk ke Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra. Bukan tanpa sebab, Prabowo sudah berkontestasi sejak 2004, namanya sudah masuk arena, sudah dibidik lembaga survey, sudah pernah maju sebagai cawapres dan sekaligus capres. Meski nasibnya tidak semulus SBY, yang juga satu angkatan di Militer.

Kenapa bisa demikian?

Sebelum maju pada pilpres 2004, SBY adalah Menteri di era Gus Dur dan Megawati. Jabatannya Menteri Koordinator Polhukam, lalu mendirikan partai, dan menang pilpres, 2009 kemudian Demokrat jadi pemenang pemilu.

Lima tahun berikutnya nyaris tak tertandingi. Pada pilpres 2009, ia unggul di atas 60%. Megawati, Jusuf Kalla, Prabowo dan sekaligus Wiranto benar-benar tak berkutik. Padahal SBY berpasangan dengan tokoh yang tingkat elektabilitasnya sangat rendah, karena tidak terbidik lembaga survey sebelumnya, yaitu Boediono.

Namun dalam politik memang selalu ada citra negatif, yaitu banyaknya kader Partai Demokrat yang tertangkap KPK, terlibat skandal korupsi berbagai macam instansi.

Tetapi terlepas dari itu semua, SBY mengakhiri masa jabatannya dengan mulus, dengan preseden yang baik sebagai seorang Presiden. Beda hal dengan Soeharto yang memilih mundur, B.J Habibie yang ditolak LPJnya oleh MPR, Gus Dur yang diturunkan, atau Megawati yang kalah pilpres sebagai petahana.

Kini SBY tengah mempersiapkan "putra mahkota", tengah menjalankan proses kaderisasi politiknya. Sama halnya (mungkin) dengan Megawati, yang nampak memberikan ruang terbuka untuk putrinya, Puan Maharani.

Prabowo masih berada dalam arena, belum menyerah, meski usia tak muda lagi. Politisi seangkatannya sudah meredakan ambisi, termasuk mantan atasannya Wiranto yang barangkali akan mengakhiri jabatan birokrasinya sebagai Menko Polhukam.

Prabowo mungkin terlambat mempersiapkan diri, karena selepas diberhentikan dari TNI, selepas meledak peristiwa 1998, ia menghilang dari peredaran. Ada yang menyebutkan tinggal di luar negeri. Baru kembali pada 2004, sementara tokoh lain sudah mempersiapkan segalanya, menata strategi politiknya. Meski tidak semua sukses.

Amien Rais, Wiranto, Yusril Ihza Mahendra, Surya Paloh, Aburizal Bakri termasuk sederet tokoh seangkatan, yang sudah tidak lagi tampil di depan layar. Karenanya mungkin juga, ketika pilpres 2014 lalu ada kesempatan maju sebagai capres, Megawati lebih memilih figur lain. Mungkin sudah saatnya untuk duduk tenang di belakang, dan memberikan ruang bagi kader-kader yang lebih junior untuk tampil.

Karena itupula barangkali, B.J Habibie kala itu mematok kriteria Presiden adalah usia 40-60 tahun. Pada rentang usia itu, di masa depan Indonesia memiliki banyak figur. Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, TGB Zainul Majdi, Sugianto Sabran, M. Ridho Ficardo, Anies Baswedan, Sandiaga Uno, Emil Dardak, Azwar Anas, dll adalah sederet nama yang perlu dipertimbangkan.

Tinggal political will dari partai politik yang ada, juga kesadaran masyarakat untuk menilai calon dari rekam jejak. Maka sangat menarik ketika popularitas dan elektabilitas diukur dari kinerja, jika Presiden nanti secara struktural muncul dari Walikota, Gubernur, lalu naik menjadi Wakil Presiden dan kemudian menjadi Presiden.

Meski tidak menutup kemungkinan tokoh diluar eksekutif atau kepala daerah, bisa juga berkontestasi, dengan rekam jejak yang nyata, gagasan dan program yang menyakinkan. Sehingga dalam kepemimpinan nasional, kita akan selalu memiliki alternatif.

Jangan sampai, sebagaimana yang dulu dikhawatirkan Soekarno, demokrasi dikuasahi oleh para kapitalis. Yang tanpa punya visi misi jelas, apalagi prestasi politik dan birokrasi, namun tampil ke permukaan, hanya karena punya uang, punya media, citranya dipoles sedemikian rupa.

Ada banyak yang layak menjadi penantang Jokowi, dan barangkali juga menggantikannya, namun popularitas dan elektabilitas kurang mendukung, meski secara kapasitas tidak diragukan lagi. []

Blitar, 19 April 2018
Ahmad Fahrizal Aziz

Benarkah Pak Amien Rais ikut dalam gerakan #2019gantipresiden yang ramai menjadi tagar di sosial media, dan bahkan mewujud dalam bentuk kao...

Benarkah Pak Amien Rais ikut dalam gerakan #2019gantipresiden yang ramai menjadi tagar di sosial media, dan bahkan mewujud dalam bentuk kaos dan bermacam asesorisnya?

Jika iya, toh itu sudah biasa. Sejak orde baru, Pak Amien Rais termasuk tokoh terdepan yang mengharap Pak Harto mundur, dengan 10 argumentasi kenapa Pak Harto, yang sudah 30 tahun lebih berkuasa itu, harus diganti.

Pak Amien Rais juga tokoh penting, meski keputusan bersifat komunal, atas diturunkannya Gus Dur dan diganti Megawati. Tentu ini peristiwa politik yang sangat bersejarah.

Namun seberapa kuatkah Pak Amien Rais untuk saat ini? Sepertinya masih kuat, meski barangkali tak sekuat waktu masih menjadi Ketua MPR RI, atau ketika menjadi Ketua Umum PAN.
Basis akar rumputnya pun mungkin juga masih solid, salah satunya ketika Pak Amien mendapat otokritik dari salah satu kader partai baru, langsung ada barisan yang "berfatwa haram" memilih partai baru tersebut.

Bagaimanapun, Pak Amien Rais adalah legenda. Gelar sejarahnya pun sangat bergengsi, yaitu bapak reformasi. Pak Amien pada akhirnya akan terus disebut dalam sejarah Indonesia. Sebagai aktor peralihan era.

Sayangnya, Pak Amien Rais tidak pernah mulus dalam kontestasi pilpres, sekalipun namanya sangat terkenal, bahkan sampai sudut-sudut negeri, hampir semua kenal Amien Rais.

Pada pilpres 2004, ketika namanya masih berkibar, dan suasana reformasi yang masih menghangat, justru hanya sekitar 14,66% saja masyarakat yang memilihnya. Masih dibawah Bu Mega, Pak Wiranto, dan apalagi Pak SBY.

Padahal konstituen Muhammadiyah, konon hampir 30% penduduk Indonesia. Suara NU jelas terpecah ke Mega-Hasyim dan Wiranto-Salahudin. Meskipun mungkin ada beberapa yang ke SBY-JK, sebab JK juga representasi tokoh NU.

Saat pada akhirnya SBY terpilih, yang notabene berlatar TNI, orang banyak merenung, lantas reformasi macam apa yang diinginkan, kalau tokoh reformasinya saja, yang menjadi simbol peralihan era, justru mendapat dukungan yang tidak sampai dari seperempat rakyat Indonesia.

Akhirnya orang menyadari ada kesenjangan elit dan rakyat. Mungkin para elite atau para aktivis ingin rezim berganti, era berubah, namun rakyat masih merindukan sosok pemimpin militer, yang kuat, smiling seperti Pak Harto. Maka mulai bermunculan meme "penak jamanku to", dengan foto Pak Harto tersenyum sambil melambaikan tangan.

Pada pilpres berikutnya, SBY nyaris tak tertandingi, sekalipun berpasangan dengan figur yang tak masuk incaran survey. Dalam satu putaran saja, Mega-Prabowo dan JK-Wiranto bisa disisihkan. Kemenangan elektoral yang luar biasa, di atas 60%, dengan tiga pasang calon.

Lebih tinggi dari suara Jokowi-JK yang hanya unggul tipis dari Prabowo-Hatta.

Lalu apa juga makna dari ganti Presiden, dan seberapa berpengaruhkah figur Pak Amien Rais dalam gerakan ini?

Berbeda ketika Pak Amien Rais menghantam rezim orde baru, dan membuat argumentasi kenapa Pak Harto harus mundur dan rezim harus berganti. Kali ini gerakan #2009gantipresiden syarat tendensi, untuk memenangkan Prabowo.

Salah satu deklaratornya, Mardani Ali Sera dari PKS, juga bukan tanpa kepentingan. Ia masuk dalam radar cawapres Prabowo. Gerakan ini akan menjadi semacam "prestasi" yang mungkin jadi pertimbangan, apakah sosoknya layak mendampingi Prabowo.

Beda hal dengan suara-suara kritis sebelum 1998, yang nyaris tanpa tendensi kekuasaan. Orang keluar masuk penjara karena berbeda paham dengan rezim, kritik yang mereka suarakan bertaruh dengan moncong senapan atau sniper yang kapan saja bisa menembus dada atau kepalanya.

Tanpa tahu, apakah setelah semuanya berubah hidupnya akan lebih enak, atau justru tambah sengsara. Seperti para pejuang yang nyaman hidup dibawah kolonial Hindia-Belanda, yang bisa makan enak dan sekolah tinggi sampai eropa, namun justru terlunta-lunta di negaranya sendiri yang telah merdeka.

Pak Harto dengan kebesaran hatinya, sebenarnya sangat menyadari bahwa ia harus segera mengakhiri jabatannya. Namun dalam sambutannya, ia berujar : apakah setelah saya mundur keadaan akan menjadi lebih baik?

Sebagaimana dulu, kita berharap rezim berganti, tapi nyaris tak pernah bisa menerka apakah penggantinya akan lebih baik?

Hal tersebut terulang kini, ketika orang sibuk mengupas rezim, mengkritisi, dan menggalang gerakan untuk mengganti. Tapi kita secara sadar juga belum tahu apakah nanti penggantinya bisa lebih baik, apa gagasan darinya untuk memperbaiki kondisi negeri, apa kira-kira hal yang menyakinkan bahwa penggantinya nanti tidak justru lebih mengecewakan?

Pak Amien Rais sebagai King Maker, pelaku sejarah, orang yang pernah terlibat dalam sistem, tentu sangat memahami hal tersebut. Salam takzim dan hormat kepada beliau, dan berharap ada pencerahan publik agar tak sekedar mengganti, tapi benar-benar serius menguji penggantinya.

Agar kita lebih yakin, bahwa 2019 memang harus ganti Presiden.

Tabik,

Blitar, 13 April 2018
Ahmad Fahrizal Aziz