Ticker

6/recent/ticker-posts

Pada 11-13 Desember 1993, Amien Rais memimpin sidang tanwir Muhammadiyah di Surabaya dan membahas soal suksesi kepemimpinan nasional. Tanwi...

Pada 11-13 Desember 1993, Amien Rais memimpin sidang tanwir Muhammadiyah di Surabaya dan membahas soal suksesi kepemimpinan nasional. Tanwir merupakan lembaga permusyawaratan tertinggi setelah muktamar.

Amien Rais mengingatkan, bahwa hampir setengah abad merdeka tetapi bangsa Indonesia belum pernah punya pengalaman bagaimana cara memilih presiden. Bung Karno dan Pak Harto menjadi presiden karena proses sejarah.

Menurutnya, Muhammadiyah yang lahir 33 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia, tak ada salahnya untuk urun rembug membahas kriteria pemimpin, yang diperkirakan akan terjadi pada 1998 ketika angkatan 45 sudah larut senja dan paripurna dari pengabdiannya.

Sidang tanwir yang membahas suksesi kepemimpinan nasional tersebut berhasil merumuskan enam kriteria calon pemimpin. Yakni :

1. Harus sudah teruji kesetiaannya pada Pancasila dan UUD 1945.

2. Punya integritas pribadi, tidak bermental korup dan dapat menjadi panutan.

3. Punya komitmen kerakyatan dalam arti selalu mengunggulkan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan, partai, kelompok, keluarga, dan sebagainya.

4. Punya visi masa depan yang ditandai dengan perkembangan iptek.

5. Memperoleh akseptabilitas yang setinggi mungkin dalam masyarakat Indonesia yang serba majemuk.

6. punya jangkauan (reach out) international berhubung Indonesia tidak mungkin ber-autarki tanpa kerjasama dengan negara lain.

Siapapun itu, entah berlatar belakang ABRI, Golkar, birokrasi, parpol, kalangan kampus, dunia wiraswasta, dan lain sebagainya tak menjadi masalah selama memiliki enam kriteria tersebut, dan terpilih dalam konsensus nasional.

Hanya saja, hasil yang sudah disepakati sidang komisi umum tersebut mendapat keberatan dari Lukman Harun, yang juga salah satu pimpinan Muhammadiyah. Lalu diikuti keberatan oleh tujuh pimpinan wilayah.

Menurut pihak yang menolak, pembahasan tersebut terlalu dini, sehingga ada kesan mendesak penguasa. Selain itu, soal suksesi merupakan tugas MPR kala itu, sehingga Muhammadiyah tidak perlu ikut bicara politik.

Karena penolakan tersebut, demi kemaslahatan bersama ala Muhammadiyah, maka hasil sidang soal suksesi kepemimpinan nasional disimpan dulu dan direncanakan dibahas pada Muktamar 1995. (Red.s)

Sumber bacaan :
Buku "Motalitas Politik Muhammadiyah" (1995) karya Amien Rais. Hal 47-50

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz Isu agama itu memang mengganggu, setidaknya secara politik. Menguras emosi dan energi. Padahal tidak begitu sub...

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz

Isu agama itu memang mengganggu, setidaknya secara politik. Menguras emosi dan energi. Padahal tidak begitu substansial.

Yang penting itu isu ekonomi, dan hukum yang tidak adil. Dua isu ini tak lebih mengganggu dari isu agama, namun sangat substansial. Jika tidak ditanggapi, dampaknya bisa bermacam, sebab berkaitan dengan hidup mati masyarakat.

Isu agama? Andai kalah dalam isu ini, biasanya kalah dalam kontestasi politik. Penting juga, soal hasrat dan kekuasaan.

Apakah Jokowi tergoda isu agama?

Pilpres 2014 silam, rasanya Jokowi masih santai-santai saja, bahkan foto dalam kertas suaranya tidak menggunakan peci. Hanya mengenakan baju kotak-kotak.

Padahal isu agama menyerang dari berbagai sisi. Mulai dari agama orang tuanya, gelar "H" yang bukan Haji melainkan Handoko, munculnya tabloid obor rakyat, dan masih banyak lagi.

Ya, meskipun berpasangan dengan Jusuf Kalla, yang adalah ketua Dewan Masjid Indonesia. Tetapi pertimbangannya lebih karena elektabilitas. Elektabilitas Pak JK antara nomor 3 dan 4.

Isu agama yang menerpa berguguran satu per satu. Jokowi bisa shalat, bahkan berani menjadi Imam shalat, termasuk shalat magrib, yang mana bacaannya dikeraskan. Bisa. Berarti ia seorang muslim. Terlepas apakah makhroj atau nadanya kurang tepat.

Soal tuduhan gelar H, akhirnya terbukti bahwa itu gelar Haji. Naik haji pada tahun 2003. Dan sederet tuduhan lain, yang akhirnya rontok.

Lalu ada apa dengan pilpres 2019? Apa isu agama menjadi masalah genting?

Sepertinya Jokowi masih santai saja, yang ketar ketir mungkin tokoh-tokoh partai di balik pengusungnya.

Jokowi mungkin memilih Mahfud MD, yang berlatar hukum. Atau memilih tokoh lain yang punya background ekonomi. Itu lebih penting, untuk kerja, kerja, kerja.

Bukan politik, politik, politik, la nanti siapa yang kerja?

Blitar, 11 Agustus 2018

Pemilihan Presiden (Pilpres) Republik Indonesia pertama kali diadakan tahun 2004. Jika sebelumnya Presiden dipilih berdasar perolehan suara...

Pemilihan Presiden (Pilpres) Republik Indonesia pertama kali diadakan tahun 2004. Jika sebelumnya Presiden dipilih berdasar perolehan suara Partai politik atau voting di Parlemen, 2004 muncul aturan baru.

Saat itu Megawati Soekarnoputri, yang mejabat sebagai Presiden, maju sebagai Petahana, melawan lima pasangan lainnya. Megawati menggandeng Ketua PBNU, KH. Hasyim Muzadi.

Pasangan yang maju kala itu adalah Wiranto-Solahudin Wahid yang diusung partai Golkar. Megawati-Hasyim Muzadi yang diusung PDIP, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo yang diusung PAN, SBY-JK yang diusung Partai Demokrat, PBB, dan PKPI, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar yang diusung PPP.

Persyaratan mengusung pasangan Capres dan Cawapres waktu itu adalah, parpol memiliki 5% suara nasional, atau 3% di kursi DPR. Sehingga beberapa partai bisa mengusung calonnya sendiri.

Pada putaran pertama, suara NU disebut pecah dalam dua kubu, karena Adik dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yaitu Solahudin Wahid maju sebagai Cawapres Wiranto yang diusung Golkar.

Tetapi diluar dugaan, justru pasangan SBY-JK menang cukup telak mengungguli Megawati-Hasyim Muzadi. SBY-JK memperoleh suara 33,57% sementara Mega-Hasyim 26,61%.

Karena syarat kemenangan harus melebihi 50%, atau setidaknya 20% di tiap provinsi, maka digelarlah putaran kedua.

Terjadi lobi dan komunikasi politik, selain kocok ulang partai pendukung, juga banyak yang bertanya, apakah suara NU akan bulat mendukung Mega-Hasyim?

Sebagai petahana, Megawati jelas sangat diunggulkan, apalagi berpasangan dengan Ketua PBNU, yang notabene sebagai Ormas dengan pengikut terbesar di Indonesia. Banyak yang memprediksi Mega-Hasyim akan menang mudah.

Namun hasil pemilu sungguh mengejutkan. Justru SBY-JK menang sangat telak sebesar 60,62%. Sementara Mega-Hasyim hanya memperoleh prosentase suara 39,38%.

Pengamat politik menilai preferensi pemilih tidak seragam, sekalipun yang maju adalah tokoh sentral organisasi. Banyak yang berharap kala itu KH. Hasyim Muzadi lebih mengurus Umat daripada terlibat dalam politik.

Pola yang sama kini juga dijalankan PDIP, dengan memasangkan Jokowi dengan Rois Am PBNU, KH. Ma'ruf Amin. Akankah sejarah terulang?

Nama Mahfud MD memang santer diberitakan sebagai cawapres Jokowi, terutama banyaknya kode-kode terkait, seperti inisial "M", atau...

Nama Mahfud MD memang santer diberitakan sebagai cawapres Jokowi, terutama banyaknya kode-kode terkait, seperti inisial "M", atau kode yang berupa ancaman PBNU. Namun duet Jokowi-Mahfud MD tetap layak dipertimbangkan.

Padahal yang memiliki inisial M ada beberapa. Selain Mahfud MD, ada Jenderal (Purn) Moeldoko. Juga KH. Ma'ruf Amin, Muhaimin Iskandar, sampai Mulyani atau Sri Mulyani. Namun yang muncul kemudian adalah pasangan Jokowi-Mahfud MD.

Nama Mahfud MD sangat pas karena beberapa hal :

Pertama, bukan tokoh partai. Mahfud MD lebih mewakili non partai atau kalangan profesional, sehingga tidak terkesan mengkhususkan parpol pengusung tertentu. Sehingga duet __Jokowi-Mahfud MD__ menjadi alternatif yang tepat.

Kedua, latar belakang hukum. Salah satu isu paling gencar dalam kepemimpinan Jokowi adalah lemahnya penegakan hukum. Sosok Mahfud MD mewakili hal ini karena ia seorang praktisi hukum, dan pernah menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi. Duet Jokowi-Mahfud MD nanti layaknya duet Saudagar dan Pakar hukum.

Ketiga, berlatar belakang religius. Selain ketua KAHMI, Mahfud MD juga dekat dengan Muhammadiyah dan NU, meski PBNU menyatakan jika Mahfud MD bukan kader NU. Barangkali secara administratif.

Tiga hal tersebut menjadi alasan yang cukup tepat kenapa sosok Mahfud MD dipilih sebagai Cawapres, dan pasangan Jokowi-Mahfud MD layak diapresiasi.

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz Menulis soal politik memang sungguh menggoda. Padahal saya sudah siapkan dua tulisan tentang lingkungan, gegara...

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz

Menulis soal politik memang sungguh menggoda. Padahal saya sudah siapkan dua tulisan tentang lingkungan, gegara ada statement TGB yang viral, tergoda lagi untuk nulis soal isu politik. Isu lingkungan ditunda dulu.

Bagi saya, TGB dan Gatot Nurmantyo adalah kunci elektoral Pilpres 2019 nanti. Sebab Jusuf Kalla sudah tidak bisa maju sebagai Cawapres, dan Mahfud MD rasa-rasanya juga tidak akan bersedia dicalonkan, mendampingi siapapun.

Konon, dari isu yang beredar, TGB sangat dilirik oleh Prabowo. Sebab betapa mantapnya, jika Prabowo yang berlatar militer, berpasangan dengan TGB yang berlatar sipil dan kepala daerah.

Hanya tidak mudah bagi Prabowo, jika harus melewati PAN dan PKS. Apalagi PAN punya catatan positif dalam pilkada 2018 ini.

Karena selintas ada nama lain diluar koalisi PAN dan PKS, konon karena itulah Pak Amien Rais sedikit geram, dan menyatakan siap Nyapres lagi. Ada deklarasi yang mendukung kembali Amien Rais maju sebagai calon Presiden.

Padahal mana mungkin? Sebab PAN sedang getol-getolnya memprofilkan Dzulkifli Hasan. Karena itu ada yang berpendapat jika majunya Pak Amien Rais hanya gertakan untuk Prabowo, yang mulai melirik orang diluar koalisi besar.

Tetapi entah itu benar atau tidak, namanya juga isu politik yang serba simpang siur.

Lalu bagaimana dengan statement TGB soal Jokowi dua periode?

Sebenarnya fair saja, kata TGB ketika diwawancara Alfito di CNN Indonesia. TGB sendiri berujar, untuk lingkup NTB yang 5,1 Juta penduduk, ia butuh dua periode. Maka dalam konteks yang sama, Pemerintah pusat juga demikian. Fair saja.

Tidak hanya TGB yang pernah berujar demikian, Gatot Nurmantyo juga, bahkan ketika masih mejabat panglima TNI. Melihat pembangunan infrastruktur saat ini, maka pentingnya kepemimpinan dua periode. Begitu kata Gatot dulu.

Apalagi, dua periode adalah batas maksimal memimpin di Indonesia. Tidak seperti Malaysia, yang mana Mahatir bisa terpilih lagi jadi perdana menteri, tidak ada batasan.

Jadi statement TGB, dan juga Gatot dahulu, bukan bentuk dukungan. Hanya bicara sebaiknya. Jangan baper, juga jangan senang terlebih dahulu.

Jokowi pun juga cukup kesulitan jika harus menggandeng TGB. Harus melewati partai-partai pendukung, terutama PDIP dan Golkar. Ada Airlangga Hartanto, yang jadi kandidat kuat cawapres.

Jangan pula mereduksi figur TGB hanya karena statement semacam itu. TGB, sosok yang komplit ; agamawan disatu sisi, alumnus Al Azhar Mesir, dan mau terjun ke politik, mengurus rakyat dan daerahnya.

Anda hitung berapa banyak Ulama yang mau terjun langsung seperti TGB. Lebih banyak yang menikmati berceramah dari mimbar ke mimbar, punya jamaah dan pengikut, juga dibayar mahal.

Yang mau terjun langsung, mengelola birokrasi, menyelesaikan persoalan publik yang lebih kompleks, begitu sedikit jumlahnya.

Sebab bagaimanapun, TGB adalah salah satu kunci elektoral. Kemana beliau akan bersikap, maka "angin politik" juga akan ikut terpengaruh.

Dan kita perlu memahami juga, ada satu kesamaan antara TGB dan Jokowi, soal kebijakan infrastruktur. Ibarat gayung bersambut. NTB yang dulu tak begitu dikenal, kini begitu populer. Terutama pariwisatanya, bahkan menyaingi Bali. Salah satu penyokongnya adalah infrastruktur.

Hotel terbaik di dunia juga ada di NTB. Mungkin yang lainnya akan menyusul. TGB adalah tokoh yang usianya kini masih cukup muda, dan Insyallah masih ada 10 atau 15 tahun berikutnya untuk Tuan Guru ini memimpin Indonesia. []

Blitar, 7 Juli 2018
Lingkar Studi Sejarah Politik Indonesia (Lakspi)